Nama
: Yusron Dwi Mangestika Wicakso Sugianto
NPM : 18311874
Kelas : SMTS - 05 - 2011 - C
Tugas 1
Pertanyaan :
1. Pancasila digali dari kebudayaan bangsa
sendiri, apakah pengertian digali dan siapa penggalinya? Jelaskan secara meluas
dan mendalam!!
Jawab :
Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding
fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam
aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa
penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun
seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.
Pancasila
sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia
yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan bukan itu.
Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila
tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan
berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan
aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara.
Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu
bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di
tengah.
Pada
saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada
ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan
negara. Namun sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem
demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke
kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden
ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping
kanan digeser dan digerakan ke kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan
dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca:
PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan
pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan
dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah
peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu
tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan
Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah
Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh
regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru
merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat
menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap
penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke
praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang
dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah
tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai
saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu
memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD
1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
1.Dinamika
Aktualisasi Nilai Pancasila
1.1.Kerangka Teoritik
Alfred
North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa
semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan
suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas
dan identitas diri dalam perubahan tidak
boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila
sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai
Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara
? dan, unsur nilai Pancasila manakah
yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono
(1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga
tataran nilai itu adalah:
Pertama,
nilai dasar, yaitu suatu nilai yang
bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan
waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat
umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang
bagaikan aksioma.Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan
dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan
ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai
dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang
ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga
masyarakat.
Kedua,
nilai instrumental, yaitu suatu nilai
yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai
dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan
untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus
disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada
nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif
dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya,
maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem,
rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar
tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah
MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga,
nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa
cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai
praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh
organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan
kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan
nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan
realitas.
Jika
ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai
praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental
itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan,
strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir
dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi
suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau
aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu
ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat
logis serta konsisten pada tahap nilai
dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya
rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan
kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa
bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika
konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak
akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga
tataran nilai tersebut.
Untuk
menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik
hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang
abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang
umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno,
1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan
individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya
dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara
menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak
transformasi Pancasila formal sebagaikategori tematis (berupa konsep, teori)
menjadi kategori imperatif (berupa
norma-norma) dan kategori operatif
(berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah
apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan,
penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah
diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat
futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.
Masalah
aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis
kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati
Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan
yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam
berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai
konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas
dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat
berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan
mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa
prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya
nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus
menerus diadakan perubahan, baik dalam
arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan
dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu
dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi
mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi
nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan
adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain,
pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila.
Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai
pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik).
Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini
Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip
dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk
Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni
logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon
yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas
merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika
dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap
ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai
aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori
imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian
tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
Untuk
melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara
orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan
negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat.
Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa,
orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan
bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk
menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal
penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan,
kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
1.2. Perubahan dan
Kebaharuan
Pembaharuan
dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang
timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya
proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah
semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu
sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas
yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam
menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau
unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan
transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah
dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Dewasa
ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi,
terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun
bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya
asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib
Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai
akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus
budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi
komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat
dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang
mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat
menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami,
bahwa dalam kehidupan dewasa ini,
teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata
kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil
tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya
faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya
tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau
tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir,
yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri.
Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of
misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung
bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan
sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari
luar.
Dalam
konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau
menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik
sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah
sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang
mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia
sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara
dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan
pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman
menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak
nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif
baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi
pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang
filsafatnya yang berasal dari luar.
Prof. Notonagoro telah menemukan cara untuk
memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu
pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan
melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya
diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap
pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat
dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan
memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham
dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila
sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa
yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah
identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada
daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap,
menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi
pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa mendatang. Sedangkan penerapan atau
penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya.
Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya
Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun
nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada
kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14)
menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan
bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan
internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang
pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi.
Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar
membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa
Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran
dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi
pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi
sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan
sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan
yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi
tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara
kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi
pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan
keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan
kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan
dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa
Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup
sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena
dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia
menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima
secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak
pantas untuk diintegrasikan dalam
pengembangan dirinya.
Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat
dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di
dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga
dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut
bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya.
Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa
Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa,
sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan
internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang
terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok masyarakat bangsa, negara,
manusia, sistem masyarakat dunia (Sastrapratedja, 1996: 3).
Semuanya itu
mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan mengembangkan
nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir
Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam
menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya,
membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli.
Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan
pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah
terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman
universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg,
melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan
pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam
memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang
sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi
terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak
kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai
kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan
aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya
penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau
untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan
permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu
kesatuan yang integral.
Teori
hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles
menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe),
namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak.
Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi
materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan.
Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang
kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas
yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa
depan.
2.
Simpulan
Dinamika
dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu
relevan dalam fungsinya memberikan pedoman
bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara
terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi
terhadap Pancasila bisa diminimalisir.
Substansi
dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis
adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan
nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi,
relevansi, dan kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang
berkesinambungan terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan
penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan
penggayaan ideologi Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan
dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan
kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan wargamasyarakat Indonesia.
Jadi,
kebudayaan yang sangat beragam di negeri ini merupakan bentuk implementasi dari
nilai-nilai yang terkandung di setiap sila-sila pancasila. Jika di gali lebih
mendalam, hubungan antara kebudayaan dan pancasila adalah sangat mendasar. Kita
mengetahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang setiap
daerahnya memiliki adat istiadat dan tradisi yang berbeda. Sehingga kebudayaan
yang terdapat di masing-masing daerah akan banyak menimbulkan kontroversi.Oleh
karena itu, pentingnya peran pancasila untuk menimbulkan keharmonisan dan
keseragaman berbudaya perlu diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh nyata dalam permasalahan publik yaitu pertikaian antar umat
beragama., terjadi konflik yang syarat akan permasalahan SARA. Dengan menggali
nilai pancasila pada sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang maha Esa, maka
sudah jelas bahwa pancasila mengharuskan adanya toleransi antar umat beragama
dan itulah kebudayaan Indonesia.
Maksud
dari siapa penggali pancasila dari kebudayaan bangsa adalah orang-orang yang
dahulu memperjuangkan dan mendirikan bangsa Indonesia yang memiliki ideologi
pancasila,salah satunya yaitu Ir. Soekarno. Dahulu, Ir. Soekarno menyatukan
bangsa Indonesia dengan mengaplikasikan nilai-nilai dasar pancasila, namun ia
tidak serta merta dengan mudah melakukannya. Kebudayaan bangsa Indonesia yang
pluralistik menjadi salah satu hambatan dalam upaya mempersatukan bangsa karena
memiliki pemahaman yang tidak sama. Sampai akhirnya, fungsi pancasila sebagai
ideologi bangsa dapat memberikan pemahaman yang sama kepada masyarakat tentang
pentingnya persatuan bangsa. Masa dulu dan masa sekarang tentunya berbeda,
untuk masa sekarang diperlukan jiwa pemuda-pemudi yang sadar sangat pentingnya
hubungan pancasila dengan kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia sebagai
pengganti dan penerus sang proklamator. Banyak hal yang dapat dilakukan
pemuda-pemudi untuk merealisasikan cita-cita luhur Ir.Soekarno yaitu
mempersatukan masyarakat Indonesia, seperti mengadakan sosialisasi massal
tentang toleransi antar-umat beragama, memberikan pemahaman yang sama terhadap
pandangan atau tujuan pancasila, dan masih banyak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar